Sungguh benar penilaian Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tentang kebanyakan praktek hajr yang tidak sesuai dengan syari’at, sementara mayoritas pelakunya menyangka bahwa mereka telah berbuat keta’atan kepada Allah dengan praktek hajr tersebut, tetapi pada hakekatnya mereka menerapkan hajr karena mengikuti hawa nafsu. Beliau berkata, “Barangsiapa yang menerapkan hajr karena hawa nafsunya, atau menerapkan hajr yang tidak diperintahkan untuk dilakukan, maka dia telah keluar dari hajr yang syar’i. Betapa banyak manusia melakukan apa yang diinginkan hawa nafsunya, tetapi mereka mengira bahwa mereka melakukannya karena Allah.” (Majmuu’ al-Fataawa XXVIII/203-210).
Kenyataan yang sangat menyedihkan tatkala kita melihat sebagian saudara kita yang mempraktekan hajr secara membabi buta tanpa didasari dengan kaidah-kaidah yang benar. Bahkan beberapa waktu lalu sampai ada seroang istrinya dipaksa oleh kakak-kakaknya untuk meninggalkan suaminya karena sang suami dianggap sebagai sururi karena telah membaca sebuah buku yang ditulis oleh penulis. Tatkala sang suami tidak rela untuk menceraikan sang istri maka kakak-kakak istrinyapun nekat membawa lari istrinya agar bisa terlepas dari cengkraman suaminya yang dianggap sebagai sururi….
Hingga sedemikian parahkah…???!!!, hingga harus cerai…??!! Padahal anak-anak mereka butuh kasih sayang kedua orang tuanya…???
Sikap-sikap arogan yang semisal dengan ini sering terjadi… Hal-hal seperti ini tidak terjadi kecuali karena muncul salah paham tentang praktek hajr, yaitu praktek hajr dilakukan secara membabi buta tanpa mengindahkan kaidah-kaidah yang telah digariskan oleh para ulama.
Oleh karena itu penulis mencoba membawakan penjelasan para ulama tentang kaidah-kaidah penerapan hajr.. Yang penulis jadikan patokan secara khusus adalah pernyataan-pernyataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah di dalam masalah ini, dengan menyertakan pula pernyataan ulama Ahlus Sunnah kontemporer, yaitu Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, dan Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin. Sengaja penulis memilih ketiga ulama di atas untuk mendukung perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, mengingat keilmuan mereka tidak diragukan lagi. Ketiganya adalah ujung tombak dakwah Ahlus Sunnah yang telah berjuang keras dalam menyebarkan dakwah ini. Disamping itu, ketiganya telah meninggal dunia dalam keadaan kaum muslimin ridha terhadap mereka. Mereka juga selamat dari fitnah-fitnah besar di masa hidup mereka. Karena itulah mereka dikenal sebagai para mujaddid (pembaharu) abad ini. Hal ini tentu saja bukan berarti menafikan keilmuan para ulama Ahlus Sunnah yang lain. Terkadang penulis juga mengutip perkataan selain ketiga ulama di atas.
Oleh karenanya penulis mengaharap para pembaca sekalian membaca perkataan Ibnu Taimiyyah rahimahullah dengan teliti sebelum membaca kaidah-kaidah tersebut. Akan tetapi sebelumnya penulis menyampaikan beberapa muqoddimah yang penulis anggap penting untuk diketahui sebelum masuk dalam pembahasan tentang kaidah-kaidah hajr
Muqoddimah penting :
Pertama : Menjaga Persatuan Merupakan Salah Satu Pokok Penting Dalam Syari’at
Seorang muslim harus menyadari bahwa persaudaraan dan persatuan di antara sesama mukminin merupakan suatu nimat yang sangat agung dari Allah semata. Maka hendaknya senantiasa dijaga dan dipelihara.
Janganlah seorang mukmin menganggap remeh kenikmatan ini. Janganlah ia menganggap bahwa mencapai persatuan dan persaudaraan merupakan perkara yang mudah. Janganlah ia menyangka bahwa tersenyumnya seorang muslim kepada muslim lainnya tatkala bersua adalah perkara yang mudah. Sebab sekiranya Allah tidak menyatukan hati mereka maka yang terjadi adalah saling membenci dan menjatuhkan.
‘Abdah bin Abi Lubabah berkata, “Aku bertemu dengan Mujahid. Lalu dia menjabat tanganku, seraya berkata, ‘Jika dua orang yang saling mencintai karena Allah bertemu, lalu salah satunya mengambil tangan kawannya sambil tersenyum kepadanya, maka gugurlah dosa-dosa mereka sebagaimana gugurnya dedaunan’.”
‘Abdah melanjutkan ceritanya, “Maka aku pun berkata, ‘Ini adalah perkara yang mudah.’ Mujahid lantas menegur, seraya berkata: “Janganlah kau berkata demikian, karena Allah berfirman:
لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِيْ الْأَرْضِ جَمِيْعًا مَا أَلَّفْت بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ وَلَكِنَّ اللهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ
“Walaupun engkau membelanjakan semua (kekayaan) yang ada di bumi niscaya engkau tidak bisa mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allahlah yang telah mempersatukan hati mereka” (Al-Anfal: 63)
Lanjut ‘Abdah, “Aku pun mengakui bahwa Mujahid memiliki pemahaman yang lebih baik dibandingkan aku.” (Tafsir At-Thabari (X/36), Hilyatul Auliya’ (III/297). Diriwayatkan juga dari Abu Lubabah, dari Mujahid, dari Ibnu ‘Abbas, dari Rasulullah ` dengan sanad yang marfu’, dalam Taariikh Waasith, pada biografi ‘Abdullah bin Sufyan Al-Wasithi (I/178), dengan kisah yang sama, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani karena beberapa syahid-nya. Lihat as-Shahiihah (V/10) hadits 200).)
Persatuan dan persaudaraan merupakan karunia yang sangat besar dari Allah kepada para hamba-Nya. Berkata Ibnu Taimiyyah, “Dan hal ini merupakan pokok yang sangat agung yaitu bersatu dalam berpegang teguh kepada tali Allah dan tidak bercerai berai. Hal ini termasuk pokok-pokok Islam yang terbesar…” (Majmu’ Fatawa XXII/359)
Beliau juga berkata, “Dan kalian mengetahui bahwa merupakan kaidah agung yang merupakan inti dari agama adalah mempersatukan hati-hati, bersatunya kalimat, dan mendamaikan diantara yang bersengketa…” (Majmu’ Fatawa XXVIII/51)
Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
الْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ
Persatuan merupakan rahmat dan perpecahan merupakan adzab (HR Ahmad IV/278 no 18472 dan IV/375 no 19369, dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah no 667)
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “…Dan hendaknya seseorang memandang dan merenungkan tentang syari’at Islam ini, sesungguhnya syari’at ini datang dengan membawa perkara-perkara yang menimbulkan persaudaraan dan kecintaan, serta melarang dari semua perkara yang menimbulkan perpecahan dan permusuhan. Banyak ibadah yang disyari’atkan adanya perkumpulan seperti sholat-sholat (secara berjama’ah). Dan banyak perkara dilarang oleh Allah karena perkara-perkara tersebut menimbulkan permusuhan dan kebencian…” (Lihat akhir dari risalah “Haul al-Ijtimaa’ wal I’tilaaf wa tark at-Tafarruq walikhtilaaf”(sebagaimana yang termaktub dalam kitabul ‘Ilmi karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin”).
Oleh karena itu kita dapati bahwasanya syari’at sangat menjaga nilai persatuan, sekaligus berusaha mewujudkan persatuan dan persaudaraan dengan berbagai macam cara. Bahkan sampai dalam perkara-perkara yang dianggap ringan dan sepele.
Diantaranya adalah disyari’atkannya mengangkat amir (pemimpin) tatkala safar (melakukan perjalanan) untuk menghindari timbulnya silang pendapat. Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا خَرَجَ ثَلاَثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوْا أَحَدَهُمْ
“Jika tiga orang keluar untuk melakukan safar maka hendaknya mereka mengangkat salah satu dari mereka sebagai amir (pimpinan).” (HR Abu Dawud III/36 no 2608, dihasankan oleh Syaikh Al-Albani. Lihat as-Shahiihah (III/314) no (1322))
Dengan adanya pemimpin dalam safar maka semua permasalahan yang timbul dalam safar dapat terselesaikan dengan baik. Tidak adanya amir akan memudahkan munculnya perselisihan, terlebih lagi jika para musafir tersebut banyak jumlahnya.
Begitu juga mengucapkan dan menyebarkan salam. Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَتَدْخُلُوا الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوْا أَوَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إذَا فَعَلْتُمُوْهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوْا السَّلامَ بَيْنَكُمْ
“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman. Dan tidaklah kalian beriman sampai kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukan kepada kalian suatu amalan yang jika kalian melakukannya maka kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian.” (HR Muslim (I/74) no (54) dan at-Tirmidzi (IV/274) no (1833)
Demikian pula dengan senyum kepada sesama saudara. Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوْفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلِقٍ
“Janganlah engkau meremehkan sedikit pun kebaikan meskipun hanya sekedar jika engkau bertemu dengan saudaramu dengan wajah yang cerah.” (HR Muslim (IV/2026) no (2626), Abu Dawud (IV/350) no (5193), dan at-Tirmidzi (V/52) no (2688).
Begitu juga dengan disyari’atkannya menjenguk orang sakit, menjawab salam, membalas orang yang mengucapkan hamdalah (alhamdulillah) tatkala bersin, dan demikian banyaknya perkara-perkara yang disyari’atkan demi menjalin persatauan dan persaudaraan.
Sebaliknya, syari’at juga mengharamkan segala perkara yang mengantarkan kepada perpecahan dan perselisihan.
Diantaranya adalah sabda Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam:
وَلاَ يَبِيْعُ الرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيْهِ وَلاَ يَخْطِبُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ
“Janganlah seseorang membeli di atas pembelian saudaranya. Dan janganlah ia meminang (seorang wanita) di atas pinangan saudaranya.” (HR Al-Bukhari (II/752) no (2033); (II/970) no (2574) dan Muslim (II/1032) no (1412)
Kedua perkara di atas tidaklah diharamkan melainkan karena menimbulkan permusuhan, sekaligus merusak persaudaraan dan persatuan di antara kaum mukminin.
Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِذَا كُنْتُمْ ثَلاَثَةً فَلاَ يَتَنَاجَى اثْنَانِ دُوْنَ صَاحِبِهِمَا فَإِنَّ ذَلِكَ يَحْزُنُهُ
“Jika kalian berjumlah tiga orang maka janganlah dua dari kalian berbicara sambil berbisik-bisik tanpa mengajak orang yang ketiga, karena hal itu akan membuatnya sedih (gundah).”
Yang hal ini bisa menimbulkan keretakan pada persaudaraan orang ketiga dengan kedua sahabatnya yang sedang berbisik-bisik.
Rasulullahshallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ وَلاَ تَحَسَّسُوْا وَلاَ تَجَسَّسُوْا وَلاَ تَحَاسَدُوْا وَلاَ تَدَابَرُوْا وَلاَ تَبَاغَضُوْا وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانَا
“Waspadalah kalian dari (1) prasangka, karena prasangka adalah perkataan yang paling dusta, dan janganlah (2) ber-tahassus (mencari-cari kesalahan saudaranya melalui perantaraan kabar), (3) ber-tajassus (mencari-cari kesalahan saudaranya dengan mengamati gerak-geriknya), (4) saling hasad, (5) saling membelakangi, serta (6) saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang saling bersaudara.” (HR Muslim (IV/1718) no (2184).
Perhatikanlah, keenam perkara di atas diharamkan karena merusak tali persaudaraan dan persatuan. Karena itulah di akhir hadits Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk saling bersaudara. Dan masih terlalu banyak hal-hal yang diharamkan (seperti ghibah dan namimah dan yang lainnya) demi menjaga persatuan dan persaudaraan antara kaum muslimin..
Oleh sebab itu syari’at memberi ganjaran yang sangat besar bagi orang yang berusaha menyatukan kaum muslimin yang sedang bersengketa.
Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Abu Ayyub,
أَلاَ أَدُلُّكَ عَلَى عَمَلٍ يَرْضَاهُ اللهُّ عَزَّ وَجَلَّ أَصْلِحْ بَيْنَ النَّاسِ إِذَا تَفَاسَدُوْا وَحَبِّبْ بَيْنَهُمْ إِذَا تَبَاغَضُوْا
“Maukah aku tunjukan kepadamu sebuah amalan yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya? Perbaikilah (hubungan) di antara manusia jika mereka saling merusak, dan buatlah mereka saling mencintai jika mereka saling membenci.” (HR. At-Thabrani dalam Mu’jam asy-Syuyuukh (I/250), al-Mu’jam al-Kabiir (VIII/257) no (7999), Abu Dawud at-Thayalisi dalam Musnad-nya (I/81) no (598), al-Baihaqi dalam Syu’abul Iimaan (VII/490) no (11094). Syaikh al-Albani menghukumi hadits ini sebagai hadits hasan li ghairihi. Lihat Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib no (2820))
Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِأَفْضَلَ مِنْ دَرَجَةِ الصِّيَامِ وَالصَّلاَةِ وَالصَّدَقَةِ قَالُوْا بَلَى قَالَ إِصْلاَحُ ذَاتِ الْبَيْنِ وَفَسَادُ ذَاتِ الْبَيْنِ الْحَالِقَةُ
“Maukah kukabarkan kepada kalian perkara yang lebih afdhal dibandingkan derajat puasa, shalat, dan sedekah?” Para sahabat menjawab, “Tentu saja.” Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Perbaikilah (hubungan) di antara sesama kalian. Dan rusaknya hubungan adalah pencukur.” (HR. Abu Dawud (IV/280) no (4919). Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani)
Maksudnya adalah mencukur dan menghilangkan agama. (Lihat ‘Aunul Ma’buud (XIII/178)
Bahkan syari’at membolehkan berdusta dalam rangka mendamaikan dua orang yang sedang bersengketa, demi terjalinnya persatuan dan persaudaraan antara sesama mukminin.
Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الْكَذَّابُ الَّذِيْ يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ فَيَنْمِي خَيْرا أَو يَقُوْلُ خَيْرًا
“Bukanlah berdusta orang yang mendamaikan diantara manusia (yang bersengketa) atau menyampaikan kebaikan (dalam rangka mendamaikan) atau berkata kebaikan ” (HR Al-Bukhari II/958 no 2546, Muslim IV/2011 no 2605, dan At-Thirmidzi IV/331 no 1938)
لاَ يَحِلُّ الْكَذِبُ إِلاَّ فِي ثَلاَثٍ يُحَدِّثُ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ لِيُرْضِيَهَا وَالْكَذِبُ فِي الْحَرْبِ وَالْكَذِبُ لِيُصْلِحَ بَيْنَ النَّاسِ
“Tidaklah halal dusta kecuali pada tiga perkara: (1) seorang suami berbohong kepada istrinya untuk membuat istrinya ridha, (2) berdusta tatkala perang, dan (3) berdusta untuk mendamaikan (memperbaiki hubungan) di antara manusia” (HR At-Thirmidzi IV/331 no 1939 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani kecuali lafal (Untuk membuat istrinya ridho))
Persatuan, saling bersaudara, dan saling mencintai antara sesama kaum muslimin merupakan hukum fundamental yang dibangun di atas dalil yang sangat banyak. Syaikh Salim al-Hilali berkata, “Mengingat hal ini merupakan hukum asal, maka sikap saling menjauhi dan saling memutuskan hubungan (hajr) adalah terlarang. Banyak dalil yang mengharamkan hal tersebut.” (Bahjatun Naazhiriin (III/108).
Kedua : Hukum Asal Hajr Adalah Dosa Besar
Hajr adalah antonim dari washl (menyambung). (Lisaanul ‘Arab (V/250). Tahaajur (saling melakukan hajr) maknanya adalah taqaathu’, yaitu saling memutuskan hubungan.( Mukhtaar ash-Shihaah (I/288).
Imam Ibnu Hajr berkata, “Hajr adalah seseorang tidak berbicara dengan yang lain tatkala bertemu.” (Fat-hul Baari (X/492)
Imam al-‘Aini berkata, “Hajr adalah tidak berbicara dengan saudaranya sesama mukmin tatkala bertemu, dan masing-masing dari keduanya berpaling dari yang lain tatkala berkumpul.” ‘Umdatul Qaari (XXII/141).
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Hukum asal meng-hajr sesama muslim adalah haram, bahkan termasuk dosa besar jika lebih dari tiga hari.” Majmu’ Fatawaa Ibnu ‘Utsaimin (III/16), soal no (385).
Diantara dalil-dalil yang menunjukan bahwa hukum asal dari hajr adalah dosa besar adalah sabda Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ هَجَرَ أَخَاه سَنَةً فَهُوَ كَسَفْكِ دَمِهِ
“Barangsiapa yang meng-hajr saudaranya selama setahun maka ia seperti menumpahkan darah saudaranya tersebut.” HR Abu Dawud (IV/279) no (4915). Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani. Lihat as-Shahiihah (II/599) no (928).
لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاه فَوْقَ ثَلاَثٍ فَمَنْ هَجَرَ فَوْقَ ثَلاَثٍ فَمَاتَ دَخَلَ النَّارَ
“Tidaklah halal bagi seorang muslim untuk meng-hajr saudaranya lebih dari tiga hari. Barangsiapa yang meng-hajr lebih dari tiga hari lalu meninggal maka ia masuk neraka.” HR Abu Dawud (IV/279) (4914), dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani.
فَإِنْ مَاتَا عَلَى صِرَامِهِمَا لَمْ يَجْتَمِعَا فِي الْجَنَّةِ أَبَدًا
“Jika mereka berdua (yang saling meng-hajr) meninggal dalam keadaan saling meng-hajr maka keduanya tidak akan berkumpul di surga selamanya” HR. Ahmad (IV/20) no (16301, 16302), al-Bukhari dalam Adabul Mufrad (I/145) no (402), al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab (V/269) no (6620), dan selainnya. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam as-Shahiihah (III/249) no (1246).
Pantaslah kiranya sikap meng-hajr seorang muslim selama lebih dari tiga hari termasuk dosa besar, mengingat hajr sangat bertentangan dengan prinsip Islam yang menyeru kepada persatuan dan persaudaraan.
Islam adalah nasihat, sebagaimana sabda Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam:
الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ
“Agama ini adalah nasehat.” HR Muslim (I/74) no (55).
Sedangkan tidak diragukan lagi bahwa hajr menafikan nasehat. Sebab dua orang yang saling menghajr tidak mungkin bisa saling menasehati. (Al-Hajr fil Kitaab was Sunnah, hal. 142). Hajr juga menghilangkan hak-hak seorang muslim, sehingga pelakunya tidak memberi salam kepada selainnya, begitu juga sebaliknya. Jika salah satu dari dua orang yang saling meng-hajr menderita sakit, maka yang lain tidak mengunjunginya. Masih banyak lagi hak-hak lainnya yang menjadi terabaikan.
Ketiga : Penerapan Hajr Adalah Keluar Dari Hukum Asalnya –Yaitu Terlarang-
Kendati demikian, terkadang boleh -bahkan disyari’atkan- bagi seorang muslim untuk keluar dari hukum asal ini, yaitu melakukan hajr dan boikot kepada muslim lainnya, apabila kondisinya memang mengharuskan demikian. Sebagaimana halnya Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam pernah meng-hajr Ka’b bin Malik dan kedua sahabatnya karena mereka tidak ikut serta dalam perang Tabuk tanpa alasan yang syar’i. Begitu juga dengan sikap para Salaf yang meng-hajr ahli bid’ah dan men-tahdzir (memperingatkan umat dari) mereka, agar umat tidak terkena dampak buruk mereka.
Namun perlu diperhatikan, mengingat penerapan hajr adalah keluar dari hukum asalnya –yaitu terlarang- maka seseorang tidak boleh keluar dengan hukum asal kecuali disertai dengan dalil dan argumen yang kuat. Sebab kaidah syari’at menyatakan bahwa kita tidak boleh keluar dari hukum asal melainkan dibarengi oleh dalil yang kuat. Terlebih lagi hukum asal tersebut dibangun di atas dalil yang sangat banyak, baik dalil-dalil yang menunjukan wajibnya persatuan dan persaudaraan, maupun dalil-dalil yang menunjukan haramnya hajr. Oleh karenanya :
Keempat : Praktek Hajr Tidak Boleh Dibangun Diatas Persangkaan
Apabila seseorang keluar dari hukum asal tersebut dengan argumen yang tidak kuat, atau bahkan masih berupa prasangka semata, berarti ia telah melawan sekian banyak dalil yang mendukung hukum asal di atas.
Yang sangat menyedihkan, di tanah air kita banyak sekali terjadi praktek hajr yang tidak dibangun di atas dalil yang jelas. Bahkan banyak penerapan hajr yang hanya dibangun di atas prasangka belaka. Misalnya tuduhan-tuduhan terhadap saudaranya bahwa saudaranya tersebut telah melakukan demikian dan demikian, atau saudaranya tersebut memiliki pemikiran-pemikiran tertentu, namun hakikatnya tidaklah demikian. Terkadang mereka membangun hajr dan tahdzir karena mendapatkan informasi dari sebagian sahabat mereka atau sebagian murid mereka dengan dalih bahwa sahabat atau murid mereka yang membawa khobar tersebut adalah tsiqoh sehingga mereka tidak perlu lagi untuk tastabbut, namun kenyataan yang banyak terjadi ternyata khobar yang dibawa oleh sahabat atau murid mereka tidaklah sesuai dengan kenyataan, atau telah dibumbu-bumbui dengan penyedap yang meracuni kehormatan saudaranya.
Kita tidak mengingkari bahwa memang bisa jadi sahabat dan murid mereka itu jujur dan tidak berdusta, namun perkataan bahwa mereka adalah tsiqoh (sebagaimana istilah dalam ilmu hadits yang artinya jujur dan hapalannya kuat) maka perlu dicek kembali. Karena terlalu banyak orang yang jujur namun salah dalam menukil, salah dalam memberi khobar karena hafalannya yang lemah atau karena buruknya pemahaman. Berkata Ibnu Taimiyah, “Banyak penukil (penyampai berita) bukanlah maksud mereka adalah berdusta, akan tetapi megetahui hakikat (maksud) perkataan-perkataan menusia tanpa menukil langsung lafal (yang mereka ucapkan) dan juga tanpa menukil segala yang menunjukan maksud mereka terkadang sulit bagi sebagian orang dan tidak bisa dicapai oleh sebagian yang lain” (Minhajus Sunnah An-Nabawiyah VI/303)
As-Subki berkata, “Banyak aku lihat orang yang mendengar sebual lafal kemudian memahaminya tidak sebagaimana mestinya” (Tobaqoot As-Syafi’iyah Al-Kubro II/18).
Seseorang terkadang memahami perkataan seseorang sesuai dengan pemikiran yang bercokol di kepalanya sebelum mendengar perkataan tersebut. Apalagi jika timbul niat yang jelek dalam diri seseorang maka perkataan yang ia dengar akan ia bawakan pada makna yang buruk.
Sungguh indah perkataan seseorang, “Kebanyakan orang selalu lebih cepat berburuk sangka daripada berprasangka baik…maka janganlah engkau membenarkan semua yang dikatakan (yang dikabarkan) meskipun engkau mendengarnya dari mulut seribu orang hingga engkau mendengar langsung dari orang yang menyaksikannya langsung dan janganlah engkau membenarkan orang yang menyaksikannya langsung hingga engkau mengecek (memastikan) bahwasanya orang tersebut terlepas dan bersih dari tujuan-tujuan tertentu dan hawa nafsu, oleh karena itu Allah melarang kita dari berburuk sangka dan menjadikan prasangka buruk merupakan sebuah dosa yang tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran” (lihat risalah Qowa’id fit ta’amul ma’al ulama’ hal 129 karya Abdurrahman bin Mu’alla Al-Luwaihiq yang direkomendasi oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rohimahullah)
Berkata Syaikh Bin Baaz, “Kebanyakan dari perkataan yang dikatakan (tuduhan dan celaan-pen) adalah tidak ada hakikatnya (tidak benar), akan tetapi merupakan persangkaan-persangkaan yang keliru yang dihiasi oleh syaitan pada para pengucapnya, dan syaitan memperdaya mereka dengan hal ini” (Majmu’ fatawa wa maqoolaat mutanawwi’ah jilid 7 yang berjudul uslub an-naqd baynad du’at wat ta’qiib ‘alaihi point kelima)
Yang lebih parah lagi jika buruknya pemahaman dan buruk sangka dibumbui dengan kedustaan, maka laa haulaa walaa quwwata illa billah. Sebagian orang tatkala tidak menemukan celah untuk mencela saudaranya, menjatuhkan saudaranya, atau agar saudaranya dikatakan mubtadi’ maka terpaksa ia harus berdusta. Sebagian yang lain meminta fatwa dari salah seorang syaikh dengan menyebutkan kesalahan-kesalahan lama yang telah ditinggalkan oleh saudara-saudaranya tersebut, maka munculah tahdzir dari syaikh tersebut terhadap teman-temannya.
Bukankah kita semestinya gembira kalau ada saudara-saudara kita yang sadar…???, bukankah banyak diantara para sahabat Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam yang dahulunya terjatuh dalam kesyirikan dan kekufuran sebelum datangnya Islam…???. Mengapa kita rela berdusta agar saudara-saudara kita sesama salafi ditahdzir….???. Dusta yang seharusnya dibolehkan untuk mendamaikan dan menyatukan kaum muslimin malah sebaliknya digunakan untuk memecah belah kaum muslimin. Berkata Abu Ishaaq Al-Juzjaanii, كَفَى بِالْكَذِبِ بِدْعَةً “Cukuplah kedustaan itu sebagai bid’ah” (Ahwaalur rijaal hal 22)
Kelima : Hjar Tidak Boleh Diterapkan Pada Perkara-Perkara Yang Merupakan Khilaf Diantara Para Ulama
Kenyataan yang sangat menyedihkan, ternyata kita dapati sebagain saudara-saudara kita menerapkan hajr pada perkara-perkara yang sebenarnya tidak boleh ada pengingkaran, apalagi sampai tahapan tahdzir dan hajr. Seperti perkara-perkara yang merupakan masalah ijtihadiyyah yang masih diperselisihkan oleh para ulama.
Lebih menyedihkan lagi, sebagian orang yang menerapkan hajr hanya karena permasalahan pribadi, lalu ia kait-kaitkan dengan manhaj. Masalah-masalah yang menyangkut keduniaan digembar-gemborkan dengan label manhaj. Mereka ini menerapkan hajr karena mengikuti hawa nafsunya. Selanjutnya setan menghiasi amalan mereka tersebut, sehingga mereka menyangka bahwa perbuatan mereka adalah ibadah.
Sebagian lagi menerapkan hajr tanpa kaidah dan batasan-batasan. Tanpa menimbang maslahat dan mudharat. Sehingga mereka terjatuh dalam kemaksiatan dan menyelisihi hukum asal.
Penerapan hajr secara membabi buta, tanpa menimbang mudharat dan maslahat, merupakan suatu kemaksiatan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata,
“…atau tidak dapat dirajihkan antara kerusakan dan maslahat, maka yang lebih dekat (kepada kebenaran) adalah dilarangnya penerapan hajr, mengingat keumuman sabda Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثٍ يَلْتَقِيَانِ فَيَصُدُّ هَذَا وَيَصُدُّ هَذَا وَخَيْرُهُمَا الَّذِىْ يَبْدَأُ بِالسَّلاَمِ
“Tidak halal bagi seorang muslim untuk meng-hajr saudaranya lebih dari tiga hari. Keduanya bertemu, tetapi yang satu berpaling, begitu juga yang lainnya. Dan yang terbaik dari keduanya adalah yang mulai mengucapkan salam.” Majmuu’ Fataawa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin (III/17) soal no (385). Selain karena keumuman hadits tersebut juga karena hukum asal dalam berdakwah adalah dengan kelembutan, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh para ulama Salaf.
Terlebih lagi jika penerapan hajr tersebut jelas-jelas menimbulkan kerusakan, fitnah, terhambatnya dakwah, dan lain-lain, maka tentunya lebih haram lagi.
Praktek hajr yang tidak sesuai syari’at efeknya sangat berbahaya bagi pelakunya, karena hukum asal hajr adalah dosa besar. Oleh karena itu barangsisapa yang ingin menerapkan hajr maka hendaknya ia benar-benar di atas bayyinah bahwa ia memang berhak untuk melakukan hajr.
Keenam : Senjata Utama Setan Terhadap Ahli Tauhid Adalah Mengadu Domba di antara Mereka
Sesungguhnya semangat setan untuk mencerai-beraikan barisan ahli tauhid (Ahlus Sunnah) sangatlah besar dibandingkan semangat mencerai-beraikan barisan kaum muslimin pada umumnya. Sebab, jika orang-orang yang bertauhid bercerai-berai maka dakwah tauhid pun akan terhambat dan terbengkalai. Adapun ahli bid’ah, maka persatuan mereka dibangun di atas kesesatan, sehingga justru itulah yang diharapkan oleh setan. Berbeda dengan Ahlus Sunnah yang persatuan mereka tegak di atas kebenaran. Hal ini tentu saja sangat dibenci oleh setan.
Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
إِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ يَئِسَ أَنْ يَعْبُدَهُ الْمُصَلُّوْنَ وَلَكِنْ فِي التَّحْرِيْشِ بَيْنَهُمْ
“Sesungguhnya setan sudah putus asa untuk disembah oleh orang-orang yang shalat. Namun ia tidak putus asa untuk mengadu domba di antara mereka.” HR. At-Tirmidzi (IV/330) no (1937). Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani. Lihat as-Shahiihah (IV/140) no (1608). Hadits tersebut diriwayatkan juga oleh Ahmad (III/313) no (14406); (III/354) no (14858); (III/366) no (14982); (III/384) no (15158); dan Abu Ya’la (IV/73) no (2095); (IV/114) no (2154). Di dalam lafazh Imam Muslim (IV/2166) no (2812) terdapat tambahan: “Pada jazirah Arab.”
Al-Mubarakfuri berkata, “Yang dimaksud dengan orang-orang yang shalat adalah orang-orang yang beriman, sebagaimana sabda Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Aku melarang kalian dari membunuh orang-orang yang shalat.’ Kaum mukminin dinamakan orang-orang yang shalat karena shalat adalah amalan yang paling mulia dan merupakan perbuatan yang paling tampak dalam menunjukkan keimanan.” Tuhfatul Ahwaadzi (VI/57).
Di dalam al-Ihsaan fi Taqriib Shahiih Ibn Hibbaan hadits tersebut dibawakan di bawah judul:
ذِكْرُ الأَخْبَارِ عَنْ تَحْرِيْشِ الشَّيَاطِيْنِ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ عِنْدَ إِيَاسِهَا مِنْهُمِ عَنِ الإِشْرَاكِ بِاللهِ جَلَّ وَعَلاَ
“Penyebutan kabar-kabar (hadits-hadits) bahwa setan-setan mengadu domba di antara kaum muslimin tatkala mereka telah putus asa dari menjerumuskan kaum muslimin untuk melakukan kesyirikan” Al-Ihsaan (XIII/269).
Jika setan melihat kaum muslimin berada di atas tauhid dan putus asa dari menjerumuskan mereka ke dalam kesyirikan, maka ia masih tidak putus asa untuk berbuat “tahrisy” di antara mereka. Yang dimaksud dengan tahrisy adalah membuat hati saling berselisih dan merusak hubungan. Sebagaimana perkataan Imam an-Nawawi di dalam Riyaadhush Shaalihiin.
Imam An-Nawawi berkata, “Setan berusaha mengadu domba di antara orang-orang yang beriman dengan permusuhan, kebencian, peperangan, fitnah, dan yang semisalnya.” Al-Minhaaj Syarh Shahiih Muslim (XVII/156).
Maka hendaknya para saudaraku yang berjuang dalam mendakwahkan tauhid agar berhati-hati dan tidak terjerumus dalam perangkap setan yang ingin merusak barisan mereka. Sesungguhnya senjata pamungkas setan tersebut sangat berbahaya dan ampuh. Namun barangsiapa yang meminta pertolongan kepada Allah maka sesungguhnya tipu daya setan adalah lemah.
Setan menghiasi amalan sebagian orang yang berafiliasi kepada Ahlus Sunnah ketika mencoba menasehati saudaranya yang menurutnya berbuat salah, dengan menerapkan hajr yang tidak dilandasi dengan kaidah yang benar. Akibatnya justru menyebabkan perpecahan yang berkepanjangan di kalangan Ahlus Sunnah dan berdampak sangat buruk bagi penyebaran dakwah tauhid
Berikut ini adalah perkataan Ibnu Taimiyyah rahimahullah yang akan penulis jadikan sandaran utama dalam menjelasakan kaidah-kaidah penting seputar hajr.